Terlepas dari cerita ini fiksi ataupun tidak, namun khazanah jawa memang luar biasa semua mengandung nilai norma serta tauladan falsafah hidup yang berguna.

Alkisah Bimasena adalah salah satu tokoh Pandawa. Bimasena adalah putra dari Pandu Dewanata dan Dewi Kunthi yang nomer 2 yang mempunyai sifat yang berbeda diantara saudara-saudara yang lain, salah satu sifat fisiknya adalah berperawakan gagah, tinggi besar, tidak bisa duduk. Sedangkan sifat watak perangainya adalah tidak bisa berbahasa krama dan jika berbicara dengan siapapun tidak pernah berbahasa selayaknya para kesatria lainnya.

Pada suatu hari Bima Sena bermimpi bahwa ayah ibundanya (Pandu Dewanata dan Kunthi Talibrata) belum bisa masuk surga (kasuargan). Bima Sena sendiri menjadi bingung, sedih dan tidak menegerti mengapa demikian. Ditengah kegalauan kerisauan dan ketidak pastian Bima menemui sang Guru yaitu Resi Durna (Druna), dalam percakapannya Bimasena bertanya mengapa kedua orang tuanya  belum masuk surga (kasuwargan). Dengan segala sifat yang dimiliki sang Guru yang terkenal dengan sifat curang dan liciknya sang Guru Durna mengatakan bahwa untuk mencapai kasuwargan orang tua maka Bimasena harus mencari Kayu Gung Susuhing Angin di Hutan Candramuka yang terkenal sangat angker penuh mahluk halus, dimana semua manusia yang masuk ke hutan itu tidak ada yang bisa keluar alias mati. Padahal niat sang guru Resi Durna tidaklah baik.  

Bimasena masuk ke hutan candramuka supaya celaka. Namun demikian sang Bimasena tidak demikian, apapun yang dikatakan sang guru dengan penuh keyakinan pastilah benar. Saat tiba di Hutan Candramuka Bimasena sudah dihadang oleh dua raseksa ( baca: Buta ). Bimasena mengutarakan maksud dan tujuannya yaitu untuk nyuawargakke kedua orang tuanya. Kedua Raseksa itu marah dan merasa tersinggung, akhirnya Bimasena dan Raseksa itu bertempur, dengan keyakinan yang penuh atas saran sang guru, akhirnya Bimasena bisa mengalahkan Raseksa itu, Namun tanpa disangka ternyata raseksa itu berubah ke wujud aslinya bahwa dua raseksa itu adalah Bethara Bayu dan Bethara Indra. Dan ternyata kedua bethara itu hanya menguji niat yang kuat dari sang Bimasena. Akhirnya, Bimasena diwejang ( dinasehati ) bahwa Kayu Gung Susuhing Angin, itu adalah sesuatu yang maya (tidak nyata) itu sebgai pralambang Kayu Gung Susuhing Angin itu bermakna ( Kayu Besar sebagai tempat tinggalnya angin) kita tahu bahwa angin tidak mempunyai tempat tinggal. Dan dibeberkan makna dari kalimat tersebut bahwa kayu gung susuhing angin itu adalah nafas badan wadak diri pribadi, bahwa nafas itu ada pada diri kita dan kitalah yang mengendalikan atas ijin Yang Widi (Allah SWT), segala tindak tanduk kitalah yang bertanggung jawab atas baik buruknya sesuatu.

Setelah Panjang lebar diwejang akhirnya Bimasena disuruh menghadap lagi pada Sang Resi Durna (Druna) namun kedua bethara itu membekali tosan aji ( jimat ) yaitu cincin bernama Mustika Manik Candrama . Ini juga bermakna pralambang bahwa Mustika manik itu adalah bermakna Intan Mutiara  hati yang yang bersih dan suci. Akhirnya Bimasena Kembali ke Begawan Durna untuk melaporkan bahwa di alas ( hutan ) Candramuka  tidak didapati apapun. Karena sejak awal Durna Sang maha Guru memang berniat jahat dan celaka serta berharap kematian sang Bimasena.

Kemudian Sang Maha Guru meyuruh Bimasena untuk masuk kedalam dasar Samudra,  disitulah nanti akan menemukan jawaban. Bimasena tidak berpikir panjang dan segera menyanggupi apa yang diperintahkan sang guru. Segeralah Bimasena masuk dalam lautan, ternyata di dalam dasar Samudra dihadang oleh raja siluman ular ( tadsaka ) dengan segala tekad, keteguhan hati serta niat yang bulat demi kasuwargan orang tuanya Bimasena bertarung melawan sang Raja Ular, karena keteguhan hatinya akhirnya sang raja ular bisa ditaklukkan, dan setelah itu Bimasena bertemu dengan Dewa Ruci, dari beliau Bimasena mendapat berbagai pencerahan bahwa dengan tingkah laku yang baik, perilaku yang bijak maka kedua orangtuanya dapat disurgakan.

Dewa Ruci memberi pusaka atau jimat yang disebut Air Suci Perwitasari. Mulai dari titik inilah pribadi sang Bimasena terbentuk kesampurnaan sejati, menjadi lebih bijak, lebih sabar dan berakhlak mulia. Akhirnya kedua orang tuanya ( Pandhu dewanata dan Kunthi Talibrata ) dapat disurgakan.

Dari sepenggal kisah fiktif ini dapat diambil nilai nilai luhur :

  1. Guru adalah guru, wajib kita teladani kita taati dan kita laksanakan perintahnya, walaupun perintah itu kadang tidak masuk akal sekalipun, di balik perintah dan harapan guru pasti ada nilai khikmah yang baik. (sang Resi Druna). Kita tahu bahwa Durna bukan seorang guru kawruh sejatining urip namun sebenarnya beliau adalah guru yang ahli dalam strategi perang. Secara percaya diri sang Guru berani memberikan gambaran hidup seorang Bimasena untuk mencari jati diri, dan hasilnya luar biasa. Artinya sanga Guru mengetahui talenta atau bakat dari sang sang murid Bimasena.
  2. Bimasena selaku murid, tidak pernah berpikir panjang serta banyak pertimbangan, apa yang diperintah difasilitasi guru, tidak menawar, selalu dilakukan dengan sepenuh hati dan rasa tanggung jawab. Bimasena tidak pernah berpikir negativ atau berprasangka buruk terhadap sang guru. Dengan keteguhan dan keyakinan serta pantang menyerahlah modal dari sang Bimasena. Dan akhirnya berhasil.
  3. Titik akhir dari cerita ini adalah Banyu suci perwitasari, kita tahu bahwa air adalah awal dari semua kegiatan ibadah yaitu digunakan untuk bersuci. Bersuci juga merupakan falsafah keselamatan. Membasuh kedua tangan supaya kita terhindar dari apa yang disebut Panjang tangan, membesuh muka adalah letak dari segala letak ketidak baikan dari indra kita apabila tidak kendalikan, Mata yang selalu melihat harus kita jaga dari ketidak baikan kita, hidung demikian juga membahu/mencium ketidak baikan orang lain awal dari sebuah prasangka buruk dan itu tidak baik, mulut yang tidak terjaga amat berbahaya, maka perlu disucikan dan dijaga dengan wudzu, Mengusap kepala, kepala adalah letak pikiran dan gagasan kita perlu kita usap terus agar selalu dalan jalan yang lurus, demikian telinga pendengaran yang tajam semestinya untuk mengetahui kelemahan diri, kritik saran harus kita dengar demi perbaikan kira. Kaki sebagai saka guru gerak kita perlu kita jaga agar melangkah hal hal yang baik dan bijaksana.

Itulah sekilas tentang kisah Bimasena dan sang Guru Durna, semoga khazanah cerita ini memberi inspirasi dalam kehidupan kita.

By admin

Leave a Reply